Blog ini sedang dalam penyempurnaan kembali. Maaf bila mengganggu kenyamanan anda. Terimakasih

Ekonomi Kerakyatan Berwawasan Kebangsaan

Gunawan Sumodiningrat *)

  1. Pendahuluan

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan mengenai tujuan bernegara yaitu selengkapnya ” .…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Seperti tersebut di atas bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang telah disepakati bersama. Pembukaan UUD 1945 tersebut merupakan bagian dari 4 (empat) pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam rangka mendukung persatuan kesatuan maka keempat pilar tersebut adalah Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tujuan negara tersebut merupakan amanah bersama untuk mencapainya, sehingga akan tercapai negara yang berkesejahteraan sosial. Negara yang melindungi ekonomi rakyat kebanyakan, atau ekonomi masyarakat pada umumnya, atau ekonomi kerakyatan. Pemerintah cukup menjadi fasilitator untuk mewujudkannya, dan masyarakat adalah aktornya. Terlebih lagi pemerintah daerah, yang memegang peran penting dalam era desentralisasi dan otonomi daerah dewasa ini.

Dalam konteks ekonomi pembangunan, kesenjangan sosial ekonomi yang masih terjadi saat ini –kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan- adalah suatu bentuk kegagalan pasar. Pembangunan ekonomi sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 33 UUD 1945, secara garis besar sebenarnya pasal tersebut membahas tentang ekonomi kerakyatan, mengingat pembangunan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi atau ekonomi Pancasila adalah pembangunan ekonomi yang memadukan pertumbuhan dan pemerataan kegiatan ekonomi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial yang adil dan merata.

Perlu untuk dirumuskan konsep dan penerapan strategi kebijakan pembangunan ekonomi kerakyatan yang tepat sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat secara merata dan berkeadilan. Upaya yang perlu dilakukan adalah memberantas korupsi, kolusi, nepotisme, atau KKN dikalangan penyelenggara negara dan para pemimpin pemerintahan melalui pengembangan sistem administrasi kepemerintahan yang baik (good governance) dan penegakan supremasi hukum (law of enforcement).

Pengembangan sistem ekonomi kerakyatan yang disertai pengembangan sistem good governance dan law of enforcement dalam proses pembangunan akan mendukung upaya menghapus kesenjangan sosial ekonomi. Terhapusnya kesenjangan sosial ekonomi baik antar golongan penduduk dan antar wilayah akan mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga pada gilirannya eksistensi NKRI tetap utuh. Itulah sebabnya maka pembangunan ekonomi kerakyatan merupakan pembangunan ekonomi yang berwawasan kebangsaan.

  1. Pengertian

Pemberdayaan ekonomi rakyat merupakan upaya memanusiakan rakyat sebagai pelaku ekonomi, pelaku pembangunan agar menjadi mampu dalam menentukan pilihannya, mengentaskan dirinya dari kemiskinan dan ketertinggalan. Sedangkan “ekonomi rakyat” adalah sektor ekonomi yang pelakunya terdiri dari usaha kecil dan usaha rumah tangga. Usaha ini dapat ditemukan dalam bidang pertanian, perdagangan kaki lima, dan dalam bidang industri kecil atau rumah tangga (tulisan rekan saya dari FEB-UGM saudara Revrisond Baswir, dalam Temu Alumni dan Diskusi Kagama DKI Jakarta, 31 Agustus 1998). Dalam pengertian ini definisi ekonomi rakyat telah diartikan secara khusus, yaitu suatu sektor ekonomi yang hanya dilakukan oleh orang-orang miskin berpendapatan rendah dan kebanyakan berada pada sektor informal. Dalam hal ini pula bahwa penyebutan dan pemaknaan istilah ekonomi rakyat telah secara otomatis mengacu pada kegiatan ekonomi kelompok kecil dan menengah. Senada dengan pendapat di atas, Prof. Mubyarto memberikan pengertian bahwa ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat dengan secara swadaya mengelola sumberdaya apa saja yang dapat dikuasainya dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya. (Mubyarto, dalam “Ekonomi Rakyat dan Program IDT”, Aditya Media, 1996, terutama dalam Bab I : Pendahuluan).

Dari kedua pendapat tersebut di atas ekonomi rakyat kemudian dimaknai sebagai suatu sektor ekonomi yang para pelakunya adalah rakyat. Namun pengertian rakyat disini perlu diperluas maknanya. Rakyat disini tidak hanya terbatas pada rakyat kecil yang mempunyai usaha kecil dan masih hidup dibawah garis kemiskinan seperti yang selama ini inheren ketika orang menyebut ekonomi rakyat. Pengertian rakyat mencakup kegiatan ekonomi semua warganegara sebagai pelaku ekonomi, baik kelompok besar, menengah maupun kecil dan tidak dibatasi pada wilayah geografis, lingkup usaha, gender, suku, agama, ras, golongan ataupun status sosial masyarakat dalam mencapai atau untuk memenuhi kebutuhannya (Sumodiningrat, “Sistem Ekonomi Pancasila” , Impact Wahana Cipta, Edisi Pertama, 1999, hlm. 2). Ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi yang diprakarsai, direncanakan, dilaksanakan, dinikmati, dan diawasi oleh rakyat dalam mewujudkan kesejahteraan. Jadi, rakyat harus berpartisipasi aktif dalam berlakunya kegiatan ekonomi tersebut.

Kemudian mengenai Sistem Ekonomi Kerakyatan atau sistem demokrasi ekonomi yang dapat didefinisikan sebagai berikut :

(1) Sistem ekonomi Kerakyatan adalah sistem perekonomian yang mengutamakan pentingnya partisipasi seluruh anggota masyarakat, baik dalam bidang produksi, konsumsi, maupun dalam mengawasi proses produksi dan distribusi. Untuk itu peluang rakyat untuk turut memiliki faktor-faktor produksi harus dibuka seluas-luasnya dan didorong pada tingkat yang setinggi-tingginya (Sumodiningrat, dalam makalah “Penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan”, 2002, unpublished).

(2) Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi partisipatif yang memberikan akses sebesar-besarnya secara adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat di dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi nasional serta meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat di dalam suatu mekanisme penyelenggaraan yang senantiasa memperhatikan fungsi sumberdaya alam dan lingkungan sebagai pendukung kehidupan guna mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia secara berkelanjutan (Muslimin Nasution, “Sistem Ekonomi Kerakyatan” (Kerangka Pemikiran, Urgensi, Tantangan Konsepsional, Pengertian dan Tantangan Operasional), Program Pasca Sarjana Studi Pembangunan, ITB, hlm. 26).

Bertolak dari pandangan tersebut di atas, kesimpulan yang dapat diambil bahwa pengertian ekonomi kerakyatan lebih menekankan atau menggambarkan kumpulan dari kegiatan ekonomi rakyat yang membentuk sebuah sistem. Unsur-unsur yang membangun sistem tersebut adalah ekonomi kerakyatan baik secara kelembagaan, asas, maupun tujuan yang kesemuanya saling terkait, menguatkan dan mendukung terlaksananya atau bekerjanya sistem ekonomi kerakyatan dalam mencapai tujuannya.

Pelaku ekonomi rakyat dimulai dari skala mikro yaitu individu sebagai individu, individu sebagai anggota rumah tangga, dan individu sebagai anggota kelompok masyarakat. Sebagai anggota rumah tangga peran yang diambil bisa sebagai produsen, konsumen maupun pelaku pasar. Sebagai produsen rakyat adalah yang menghasilkan atau memproduksi barang dan jasa. Sebagai konsumen rakyat adalah yang menikmati atau menggunakan barang dan jasa yang telah diproduksi tersebut dan sebagai pelaku pasar rakyat adalah yang menjamin lancarnya atau berlangsungnya hubungan produsen dan konsumen sebagai pengendali demand dan supply barang dan jasa di pasar. Jadi ekonomi rakyat mensyaratkan partisipasi aktif masyarakat dimana masyarakat tidak hanya sebagai produsen maupun konsumen yang memenuhi tiga asumsi pembangunan yaitu full employment (kesempatan kerja sudah dimanfaatkan secara penuh), equal productivity (semua orang mempunyai kemampuan yang sama dalam mengakses dan memanfaatkan peluang bekerja dan berusaha), rational efficient (setiap pelaku ekonomi bertindak rasional dan efisien) tetapi juga sebagai kontrol yang mengawasi dan menjamin terpenuhinya asumsi tersebut.

Dalam lingkup yang lebih besar rakyat sebagai anggota rumah tangga yang menggerakkan pasar berkumpul menjadi satu rumah tangga negara dimana hubungan atau interaksinya lebih kompleks dan memerlukan pengaturan melalui kebijaksanaan yang tepat untuk menjaga berjalannya pasar yang adil. Peran rumah tangga negara adalah sebagai regulator yang menjamin berjalannya rumah tangga masyarakat dalam mencapai tujuannya. Regulator ini bisa dilakukan melalui kebijakan baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang dan dalam kebijakan tidak langsung, langsung maupun khusus yang kesemuanya bertujuan untuk menjamin agar tiga asumsi pembangunan di atas dapat terpenuhi.

Kemudian mengenai “Sistem Ekonomi Pancasila” adalah sistem ekonomi yang menjaga keseimbangan berbagai kegiatan ekonomi antara pelaku ekonomi skala kecil-menengah dan para pelaku ekonomi skala besar. Untuk menjaga keseimbangan ini Pemerintah melindungi para pelaku ekonomi rakyat dalam mengembangkan kegiatan ekonomi produktif mereka, sekaligus memberikan iklim pengembangan usaha nasional yang kondusif bagi semua pelaku ekonomi. Sistem ini ditandai oleh ketahanan ekonomi nasional yang kukuh, struktur ekonomi antarsektor yang seimbang, saling menguntungkan, dan saling memberi kesempatan demi mewujudkan peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat serta perluasan kesempatan berusaha dan lapangan kerja.

Perwujudan sistem ekonomi Pancasila adalah pembangunan yang memadukan pertumbuhan dan pemerataan, yang diwujudkan melalui tiga arah pembangunan. Pertama, pemberdayaan masyarakat dan pemihakan kepada yang lemah dan kurang mampu dengan mencegah persaingan yang tidak seimbang, dan dengan menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan usaha masyarakat. Kedua, pemantapan otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan kepada daerah. Kekuatan sistem ekonomi Pancasila terletak pada laju pembangunan di daerah. Ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah perubahan struktur sosial ekonomi, dimana yang menghasilkan harus menikmati dan yang menikmati harus yang menghasilkan. Ketiga arah pembangunan tersebut digerakkan oleh pemerintah dalam perannya sebagai fasilitator, dinamisator, dan regulator (Gunawan Sumodiningrat “Pemberdayaan Masyarakat Dan Jaring Pengaman Sosial”, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 72).

  1. Peran UMKM dan LKM

Pembangunan nasional merupakan rangkaian proses perubahan struktural yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Pembangunan adalah proses natural mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata. Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran yaitu meningkatnya konsumsi disebabkan meningkatnya pendapatan. Pendapatan meningkat sebagai hasil produksi yang semakin meningkat pula. Proses natural tersebut dapat terlaksana jika asumsi-asumsi pembangunan dapat dipenuhi, yaitu kesempatan kerja atau partisipasi termanfaatkan secara penuh (full employment), setiap orang memiliki kemampuan yang sama (equal productivity, equal access, level playing field), dan masing-masing pelaku bertindak rasional (efficient).

Michael Todaro (1994) melihat bahwa pembangunan adalah proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, perilaku sosial, dan institusi nasional, di samping terjadi akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan, dan pemberantasan kemiskinan. Pendapat Todaro didukung oleh Gerald Meier (1995) yang memandang bahwa pembangunan ekonomi dimaknai sebagai suatu proses pertumbuhan terus meningkat, jumlah kemiskinan absolut berkurang, dan distribusi pendapatan membaik. Dalam definisi tersebut ditekankan dua kata, yaitu: ‘proses’ dan ‘jangka waktu’. Proses perlu digaris-bawahi karena istilah ini berimplikasi pada penggerakan (operation) dari sejumlah faktor ekonomi dalam suatu hubungan sebab akibat yang saling berkait. Jangka waktu perlu diperhatikan juga karena yang menjadi perhatian utama dalam pembangunan ekonomi adalah peningkatan pendapatan riil masyarakat yang terjadi terus-menerus dalam jangka panjang (sustained).

Pembangunan nasional tersebut diderivasikan lagi ke dalam program-program penanggulangan kemiskinan. Sejak tahun 1993 pemerintah memperkenalkan upaya yang serius untuk menanggulangi kemiskinan melalui Inpres Desa Tertinggal atau IDT. Tahun 1995 dirilis program P3DT sebagai pendukung dan sekaligus penyempurnaan program IDT. Program P3DT menekankan pada bantuan pembangunan prasarana dan sarana dasar yang mendukung langsung kegiatan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Program ini dinilai lebih berhasil, karena itu kemudian dilanjutkan penyempurnaannya dengan meningkatkan skalanya dari “desa” ke “kecamatan”, sehingga namanya menjadi Program Pengembangan Kecamatan (PPK). PPK dimulai penyelenggaraannya pada tahun anggaran 1998/1999. PPK mengutamakan pentingnya mekanisme perguliran dana bantuan langsung (revolving block grant) yang dilakukan melalui lembaga keuangan milik masyarakat dan diutamakan berasal dari lembaga yang telah berakar di masyarakat, lembaga ini disebut unit pengelola keuangan (UPK).

Sementara itu di perkotaan juga terjadi kemiskinan, dan pemerintah memberikan komitmennya dengan melaksanakan program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) berbarengan dengan PPK. Secara paralel dikembangkan pula program PARUL atau poverty alleviation through rural urban linkages, yang intinya berupa sebuah program penanggulangan kemiskinan dalam dimensi pembangunan ekonomi, yaitu program pengembangan kawasan desa-kota terpadu. Program ini dimaksudkan untuk mengembangkan daerah-daerah yang tertinggal namun mempunyai potensi dari segi ekonomi.

Dalam kurun waktu bersamaan, pemerintah merilis program pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat (PSEM), sebagai program yang ingin mendorong kemampuan ekonomi dan desentralisasi. Dengan sederet program, toh, pemerintah masih merasa belum cukup dengan program yang ada, sehingga diintrodusir program pemberdayaan daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi (PDMDKE) sebagai upaya mengatasi dampak krisis. Setelah itu kita mengenal JPS atau Jaring Pengaman Sosial. Dan pada kondisi kekinian –tepatnya semenjak tahun 2007- pemerintah memadukan kesemua program penanggulangan kemiskinan ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat atau PNPM.

Di dalam PNPM terdapat pengelompokan program yang dikenal dengan nama klaster. Terdapat 3 (tiga) klaster yaitu hibah murni, hibah bersyarat, dan hibah penjaminan. Hibah murni atau klaster I (satu) berisi program-program yang diperuntukkan bagi golongan fakir miskin, tanpa adanya unsur pemberdayaan, yaitu program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan sebagainya. Sedangkan klaster II berisi program untuk kalangan miskin produktif, yaitu PNPM Mandiri yang terdiri dari Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS), dan sebagainya. Sedangkan klaster III adalah program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

Di Kementerian Sosial, tahap pengorganisasian pemberdayaannya adalah keluarga miskin berkumpul dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Keluarga miskin apabila mencapai 10 (sepuluh) maka terbentuk 1 (satu) KUBE, dan 10 (sepuluh) KUBE membentuk sebuah Lembaga Keuangan Mikro. LKM ini ibaratnya pra-koperasi, yang nantinya apabila sudah formal –memiliki legitimasi hukum- akan menjadi koperasi.

Sekarang ini diperkirakan terdapat 14,15 persen penduduk miskin (Maret 2009) atau sekitar 30 juta orang. Dari jumlah tersebut sebagian besar menjadi pengusaha mikro, kecil, dan menengah (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atau disingkat UMKM). Jumlah UMKM pada tahun 2008 tercatat mencapai 51,26 juta unit usaha atau 99,99 persen dari seluruh jumlah unit usaha di Indonesia. Sementara itu jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam sektor ini mencapai 90,90 juta orang atau 97,04 persen dari seluruh tenaga kerja Indonesia. Pada tahun yang sama jumlah Koperasi mencapai 155.301 unit dengan jumlah anggota mencapai 26.814.780 orang. Penyerapan tenaga kerja melalui koperasi diperkirakan sebanyak 363.223 tenaga kerja pada tahun 2008.

Jumlah UMKM dan Penyerapan Tenaga Kerja 2004—2009


Sumber: BPS dan Kementerian Negara KUKM, 2008.

Catatan: *) angka sangat sementara, **) angka sementara, data tahun 2009 belum tersedia, diolah.

Selama ini dalam mendapatkan pendanaan UMKM dikenai persyaratan 5C (character, condition of economy, capacity to repay, capital, collateral). Itu hanya salahsatu bagian permasalahan saja. Maka pemberdayaan koperasi dan UMKM diarahkan untuk menjawab dan mencari solusi atas masalah-masalah yang timbul dan dirasakan oleh koperasi dan UMKM di antaranya permasalahan mengenai iklim usaha, akses terhadap sumber daya produktif, kewirausahaan, kelembagaan koperasi, dan pemberdayaan usaha mikro.

Upaya pemberdayaan dilakukan Pemerintah melalui PNPM (klaster kedua dan ketiga) serta kemitraan dengan dunia usaha –seperti Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dan corporate social responsibility. Untuk mengatasi ketidaksimetrisan informasi (asymetric information) diselenggarakan juga program pendampingan. Para pendamping yang pernah kita kenal adalah Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), dan sebagainya. Di Kementerian Sosial masih terdapat sejumlah pendamping seperti Tenaga Kerja Sosial Kecamatan, Pekerja Sosial Masyarakat, Manager Sosial Kecamatan atau Maskot, dan Petugas Sosial Kecamatan. Pada tingkat advance para pendamping diharapkan menjadi Konsultan Keuangan Mitra Bank atau KKMB yang menghubungkan UMKM dengan perbankan –lepas dari pendanaan pemerintah.

  1. Kaitan antara Ekonomi dan Sosial

Dalam Undang-undang no 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial disebutkan bahwa Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Prof Sukanto Reksohadiprodjo dan Dr Hani Handoko dalam buku Organisasi Perusahaan: Teori Struktur dan Perilaku (1995, BPFE Yogyakarta, hlm. 3) menuliskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup bermasyarakat. Sebutan “sosial” mengandung arti bahwa manusia cenderung mengembangkan kerjasama dan hubungan yang saling bergantung dengan manusia lain.

Masih dalam UU no 11/ 2009 yang sama disebutkan bahwa, “Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial”. Upaya mewujudkannya melalui kebijakan publik yang diderivasikan lagi ke dalam program-program pembangunan. Di era global, bangsa Indonesia tidak bisa hanya melihat perspektif internal, harus mengindahkan juga wawasan kebangsaan secara global.

Nancy Birdshall dalam salahsatu publikasinya tahun 1993 pernah menyatakan mengenai “social development is economic development” (dikutip dari buku Prof. Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, BPFE Yogyakarta, 2000, hlm. 7). Investasi dalam bidang kesehatan dan pendidikan yang biasanya masuk kategori pembangunan sosial, dalam waktu relatif singkat mempunyai dampak positif pada pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan perkataan lain pengeluaran-pengeluaran sosial atau pembangunan sosial sebenarnya tidak berbeda dengan pembangunan ekonomi. Artinya pengeluaran-pengeluaran nasional yang berupa investasi-investasi sosial telah memungkinkan manusia meningkatkan kualitasnya sebagai sumberdaya yang mampu menghasilkan produksi materiil yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Kebijakan ekonomi makro terdiri dari kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan perdagangan, kebijakan tenaga kerja, yang tujuan akhirnya adalah kesejahteraan sosial (social welfare). Relevan dengan pernyataan Bapak Presiden saat membuka Rapat Kerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dengan para Gubernur dan Ketua DPRD di Bali tanggal 19 April 2010. beliau menyatakan bahwa setiap kebijakan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga tidak ada lagi ketimpangan sosial.

Di dalam dunia yang terintegrasi maka kebijakan ekonomi, kebijakan bidang sosial, dan kebijakan bidang infrastruktur akan sangat identik sehingga ketahanan sosial berkaitan dengan ketahanan ekonomi. Target ekonomi KIB II memasukkan juga kemiskinan dan pengangguran –yang keduanya juga merupakan permasalahan sosial. Ketika ekonomi dan masyarakat semakin maju, maka peran pasar semakin penting, sehingga stabilitas menjadi prasyarat utama (necessary condition) dalam membangun ekonomi, yang berdampak juga secara sosial.

Pemerintah menetapkan target utama pertumbuhan ekonomi menjadi 7 persen pada tahun 2014. Maka Indonesia perlu memperkuat kerangka pengaturan sistem pasar agar dapat menghindari krisis dan ekonomi tanpa menghalangi inovasi dan kemampuan mengelola resiko (prudent risk-taking) yang diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi. Pemerintah perlu mengawasi keamanan dari –salahsatunya lembaga keuangan- yang berpotensi menimbulkan resiko sistemik. Akibat serius dari resiko sistemik ini adalah munculnya dampak sosial di tengah masyarakat.

Perspektif pembangunan sosial perlu untuk mengakomodasi ukuran-ukuran ekonomi. Karena orang –dalam hal ini keluarga miskin- tidak boleh selalu dalam ketergantungan pihak ketiga, misalnya pemerintah. Setelah masyarakat tersebut siap, maka dia harus bekerja, mendapatkan keuntungan, dan menabung, atau dalam kredo employment, income, dan growth. Dalam kaidah ilmu ekonomi pembangunan hal ini menjadi jamak, perubahan struktural yang harus dilalui oleh individu adalah kerja, untung, tabung, atau employment, income, dan growth. Spirit untuk bekerja harus dimasukkan ke dalam paradigma orang miskin, bahwa merekalah –dan hanya dirinya sendiri- yang bisa memulai semangat untuk mengatasi ketertinggalan. “Siapa yang menanam dialah yang akan menuai hasilnya” merupakan prinsip kehidupan yang sesungguhnya, sejatining urip. Karena sebagai makhluk sosial dan ekonomi, maka manusia harus memahami sejatining urip dengan bekerjasama, bergotong royong, dan mengkondisikan diri sebagai bagian hamba Tuhan di muka bumi.

Begitulah inti ekonomi Pancasila. Ia adalah pandangan filsafati di bidang kehidupan ekonomi sebagai implikasi langsung dari diterimanya Pancasila di negeri ini (Sri Edi Swasono dan Abdul Madjid, Wawasan Ekonomi Pancasila, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1988, hlm. 1). Sistem ekonomi Pancasila adalah rancang bangun dari ekonomi nasional, yang dijiwai oleh sila-sila yang ada dalam Pancasila. Secara garis besar, Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi yang berorientasi pada keadilan sosial dengan landasan utamanya adalah akhlak dan moral ke-Tuhanan, menekankan pada etika manusia yang beradab, menjunjung persatuan, dan mengutamakan musyawarah dalam pengambilan keputusan. Konsep ekonomi Pancasila adalah normatif, yang setiap saat butuh penjabaran dan pemaknaan sesuai dengan tuntutan waktu.

Penjabaran dan perwujudan secara konkrit dari ekonomi Pancasila adalah pelaksanaan ekonomi masyarakat yang sesuai dengan tuntutan, kondisi, dan aspirasi masyarakat Indonesia saat ini. Dengan mengambil contoh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat atau PNPM, kita dapat menyusun sebuah program penanggulangan kemiskinan sesuai dengan wujudnya yang tepat dalam beberapa kata kunci: pembangunan kesejahteraan sosial, wawasan kebangsaan, dan ekonomi Pancasila.

Amartya Kumar Sen (On Ethics and Economics, 1987), dan Amitai Etzioni (The Moral Dimensions: Toward A New Economics, 1988) memperbaharui pemaknaan welfare lebih lanjut. Welfare economics ala Sen menjadi suatu gambaran dari proses rasional ke arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan. Terhadap pengertian well being atau kesejahteraan dalam arti luas, Sen menyarankan penyertaan ukuran-ukuran baru seperti tingkat kehidupan, pemenuhan kebutuhan pokok, kulaitas kehidupan dan pembangunan manusia (levels of living, basic needs fulfillment, quality of life, dan human development). Sedangkan sosiolog Etzioni lebih mengkritik kepada individualisme ekonominya. Menurutnya kepentingan sosial perlu lebih dikedepankan ketimbang kepentingan ekonomi (SES, hlm. 32).

Sedangkan Mohammad Hatta dalam bukunya Krisis Ekonomi dan Kapitalisme, 1934, cenderung untuk menolak pemikiran Adam Smith, terutama pada bagian perumpamaan “homo economicus”, karena menurut Hatta sebenarnya orang lebih cenderung untuk homo socialis yang condong untuk bekerjasama, setiakawan, dan gotong royong (bisa dibaca di buku Soetrisno PH, Bunga Rampai Ekonomi Indonesia). Menurut Prof. SES di halaman 38, Hatta selalu menempatkan posisi rakyat sebagai sentral substansial (sebagai subyek), bukan sebagai marginal residual sehingga terlanda dehumanisasi. Sementara mantan Presiden AS, Roosevelt, dan juga Nixon menekankan pada pentingnya penyediaan lapangan kerja bagi rakyat (“not more welfare but workfare”).

Prof. Sri Edi Swasono dalam “Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial” (2010) menyebutkan bahwa perlu perencanaan pembangunan nasional untuk mencapai kesejahteraan sosial. Beliau menyebutkan bahwa external economy dapat diciptakan dan dirancang secara struktural melalui perencanaan nasional, sutau rencana restrukturisasi melalui sistem kerjasama (konsolidasi sinergi) untuk merubah ketimpangan-ketimpangan struktural menjadi keunggulan komparatif. Mutuality atau interdependecy among regions dapat direncanakan dan diciptakan.

Kadiah moral yang perlu ditekankan dalam hal ini adalah bahwa pokok yang paling mendasar dalam falsafah perencanaan pembangunan bangsa Indonesia ialah bahwa pembangunan adalah pengamalan Pancasila. Dokumen perencanaan –Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)- selayaknya untuk mengakomodasi semangat, arah, dan gerak pembangunan yang dilaksanakan sebagai pengamalan semua nilai Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh.

Pembangunan pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan, dan pedoman pembangunan nasional. Itulah pada hemat kami yang disebut dengan kesejahteraan sosial, dan ketika suasana kebatinan global dalam suasana free trade, maka perlu memperhatikan wawasan kebangsaan. Wawasan Kebangsaan adalah cara pandang bangsa tentang diri dan lingkungannya didasari oleh falsafah, cita-cita, dan tujuan ideologinya serta kemungkinan penyesuaian di dunia yang dinamis.

Pembangunan nasional merupakan rangkaian proses perubahan struktural yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Pembangunan adalah proses natural mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata. Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran yaitu meningkatnya konsumsi disebabkan meningkatnya pendapatan. Pendapatan meningkat sebagai hasil produksi yang semakin meningkat pula. Proses natural tersebut dapat terlaksana jika asumsi-asumsi pembangunan dapat dipenuhi, yaitu kesempatan kerja atau partisipasi termanfaatkan secara penuh (full employment), setiap orang memiliki kemampuan yang sama (equal productivity, equal access, level playing field), dan masing-masing pelaku bertindak rasional (efficient).

Michael Todaro (1994) melihat bahwa pembangunan adalah proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, perilaku sosial, dan institusi nasional, di samping terjadi akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan, dan pemberantasan kemiskinan. Pendapat Todaro didukung oleh Gerald Meier (1995) yang memandang bahwa pembangunan ekonomi dimaknai sebagai suatu proses pertumbuhan terus meningkat, jumlah kemiskinan absolut berkurang, dan distribusi pendapatan membaik. Dalam definisi tersebut ditekankan dua kata, yaitu: ‘proses’ dan ‘jangka waktu’. Proses perlu digaris-bawahi karena istilah ini berimplikasi pada penggerakan (operation) dari sejumlah faktor ekonomi dalam suatu hubungan sebab akibat yang saling berkait. Jangka waktu perlu diperhatikan juga karena yang menjadi perhatian utama dalam pembangunan ekonomi adalah peningkatan pendapatan riil masyarakat yang terjadi terus-menerus dalam jangka panjang (sustained).

  1. Kesamaan Pandang: Upaya Mengurangi Kemiskinan

Tidak ada karakteristik yang lebih jelas dibandingkan kemiskinan untuk menunjukkan rendahnya pembangunan ekonomi (mengutip perkataan ekonom Debraj Ray). Kemiskinan merupakan salahsatu topik utama yang dibahas dalam pembangunan ekonomi yang merupakan salahsatu karakteristik pembangunan ekonomi suatu wilayah. Pembangunan ekonomi tersebut kemudian diturunkan dalam tataran riil dan praktis melalui proyek dan program penanggulangan kemiskinan (Kunarjo, 2002: 84). Program berkaitan dengan kegiatan-kegiatan teknis untuk mengimplementasikan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Kebijakan diartikan sebagai tindakan yang dikembangkan atau dirumuskan oleh instansi-instansi serta pejabat-pejabat Pemerintah.

Program menyangkut metode pelaksanaan dan mekanisme penyaluran. Program penanggulangan kemiskinan dilaksanakan melalui dua upaya yakni pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin dan peningkatan produktifitasnya (anonim, Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2004: 23). Program dalam rangka pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin, misalnya program Beasiswa (dari Kementerian Pendidikan Nasional/ Depdiknas), program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin) dari Badan Urusan Logistik (BULOG), dan program Peningkatan Gizi Masyarakat dari Kementerian Kesehatan.

Untuk upaya peningkatan produktifitas, tidak kurang dari 8 (delapan) program penanggulangan kemiskinan yang diarahkan kepada peningkatan produktifitas pada saat ini diselenggarakan oleh pemerintah. Dari mulai Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dari Depdagri, Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) dari BKKBN, Bussines Development Service (BDS) dari Menegkop UKM, Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dari Departemen Pekerjaan Umum, Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dari Departemen Kelautan dan Perikanan, Proyek Peningkatan Pendapatan Petani-nelayan Kecil (P4K) dari Departemen Pertanian, dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dari Departemen Sosial.

Tokoh yang disebut dengan “Bapak Ekonomi” yaitu Adam Smith (dalam Adisasmita, 2005: 3) menyatakan bahwa peranan Pemerintah seharusnya dibatasi pada (1) Pemeliharaan hukum dan ketertiban, (2) Pertahanan nasional, (3) Penyediaan barang publik yang tidak dapat diadakan oleh usaha swasta. Adam Smith merupakan pionir dalam merumuskan pandangan laisez faire (yang artinya: biarkan kami melakukan sendiri) yang menyatakan bahwa Pemerintah sebaiknya tidak mencampuri kegiatan ekonomi. Namun perdagangan bebas tersebut pahamnya ditinggalkan sejak kemunculan John Maynard Keynes melalui The General Theory of Employment, Interest and Money (1936), yang menganjurkan campur tangan Pemerintah dalam kebijakan ekonomi –yaitu fiskal dan moneter.

Pembangunan nasional tersebut diturunkan (derivatifnya) lagi ke dalam program-program penanggulangan kemiskinan. Sejak tahun 1993 pemerintah memperkenalkan upaya yang serius untuk menanggulangi kemiskinan melalui Inpres Desa Tertinggal atau IDT. Tahun 1995 dirilis program P3DT sebagai pendukung dan sekaligus penyempurnaan program IDT. Program P3DT menekankan pada bantuan pembangunan prasarana dan sarana dasar yang mendukung langsung kegiatan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Program ini dinilai lebih berhasil, karena itu kemudian dilanjutkan penyempurnaannya dengan meningkatkan skalanya dari “desa” ke “kecamatan”, sehingga namanya menjadi Program Pengembangan Kecamatan (PPK). PPK dimulai penyelenggaraannya pada tahun anggaran 1998/1999. PPK mengutamakan pentingnya mekanisme perguliran dana bantuan langsung (revolving block grant) yang dilakukan melalui lembaga keuangan milik masyarakat dan diutamakan berasal dari lembaga yang telah berakar di masyarakat, lembaga ini disebut unit pengelola keuangan (UPK).

Sementara itu di perkotaan juga terjadi kemiskinan, dan pemerintah memberikan komitmennya dengan melaksanakan program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) berbarengan dengan PPK. Secara paralel dikembangkan pula program PARUL atau poverty alleviation through rural urban linkages, yang intinya berupa sebuah program penanggulangan kemiskinan dalam dimensi pembangunan ekonomi, yaitu program pengembangan kawasan desa-kota terpadu. Program ini dimaksudkan untuk mengembangkan daerah-daerah yang tertinggal namun mempunyai potensi dari segi ekonomi.

Dalam kurun waktu bersamaan, pemerintah merilis program pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat (PSEM), sebagai program yang ingin mendorong kemampuan ekonomi dan desentralisasi. Dengan sederet program, toh, pemerintah masih merasa belum cukup dengan program yang ada, sehingga diintrodusir program pemberdayaan daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi (PDMDKE) sebagai upaya mengatasi dampak krisis. Setelah itu kita mengenal JPS atau Jaring Pengaman Sosial. Dan pada kondisi kekinian –tepatnya semenjak tahun 2007- pemerintah memadukan kesemua program penanggulangan kemiskinan ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat atau PNPM.

Di dalam PNPM terdapat pengelompokan program yang dikenal dengan nama klaster. Terdapat 3 (tiga) klaster yaitu hibah murni, hibah bersyarat, dan hibah penjaminan. Hibah murni atau klaster I (satu) berisi program-program yang diperuntukkan bagi golongan fakir miskin, tanpa adanya unsur pemberdayaan, yaitu program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan sebagainya. Sedangkan klaster II berisi program untuk kalangan miskin produktif, yaitu PNPM Mandiri yang terdiri dari Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS), dan sebagainya. Sedangkan klaster III adalah program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

  1. Gerakan Pembangunan Kesejahteraan Sosial

Sekarang ini diperkirakan terdapat 14,15 persen penduduk miskin (Maret 2009) atau sekitar 30 juta orang. Dari jumlah tersebut sebagian besar menjadi pengusaha mikro, kecil, dan menengah (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atau disingkat UMKM). Upaya pemberdayaan dilakukan Pemerintah melalui PNPM (klaster kedua dan ketiga) serta kemitraan dengan dunia usaha –seperti Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dan corporate social responsibility.

Untuk mengatasi ketidaksimetrisan informasi (asymetric information) diselenggarakan juga program pendampingan. Para pendamping yang pernah kita kenal adalah Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), dan sebagainya. Di Kementerian Sosial masih terdapat sejumlah pendamping seperti Tenaga Kerja Sosial Kecamatan, Pekerja Sosial Masyarakat, Manager Sosial Kecamatan atau Maskot, dan Petugas Sosial Kecamatan. Pada tingkat advance para pendamping diharapkan menjadi Konsultan Keuangan Mitra Bank atau KKMB yang menghubungkan UMKM dengan perbankan –lepas dari pendanaan pemerintah.

Sejak tahun 2006 kami di Kementerian Sosial (dulunya Departemen Sosial) mencoba memahami apakah hakekat ”pembangunan kesejahteraan sosial” yang salahsatunya adalah pemberdayaan UMKM itu sendiri. Pertama, satu visi dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Kedua, enam prinsip pembangunan kesejahteraan sosial. Ketiga, lima langkah sebagai komponen program pembangunan kesejahteraan sosial. Tahap pengorganisasian pemberdayaannya adalah keluarga miskin berkumpul dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Keluarga miskin apabila mencapai 10 (sepuluh) maka terbentuk 1 (satu) KUBE, dan 10 (sepuluh) KUBE membentuk sebuah Lembaga Keuangan Mikro. LKM ini ibaratnya pra-koperasi, yang nantinya apabila sudah formal –memiliki legitimasi hukum- akan menjadi koperasi.

Satu visi dalam pembangunan kesejahteraan sosial adalah ”terwujudnya kesejahteraan sosial masyarakat” seperti yang tertera dalam dokumen Rencana Strategis Kementerian Sosial. Keenam prinsip yang dimaksud adalah, pertama Setiap langkah pembangunan kesejahteraan sosial perlu mengenal benar target sasaran kebijakan dengan pendataan by name by address, kemudian kedua Rumah tangga sasaran berkelompok dalam KUBE atau Kelompok Usaha Bersama yang merupakan wujud pra koperasi atau koperasi yang belum berbadan hukum, ketiga Pemberdayaan masyarakat disertai pendampingan yang dilakukan oleh Pekerja Sosial yang berperan sebagai fasilitator, dinamisator, dan motivator.

Selanjutnya keempat Dalam pembinaan KUBE diharapkan akan menjadi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang mengelola tabungan kelompok yang nantinya berkembang menjadi sumber modal usaha kelompok yang diharap dapat mewujudkan kesejahteraan anggota, kelima Kegiatan pendampingan melalui pembangunan kesejahteraan sosial ini mendukung 3 (tiga) klaster dalam program nasional pemberdayaan masyarakat, yaitu dari bantuan hibah murni, ke bantuan hibah bersyarat, dan akhirnya menjadi bantuan hibah penjaminan. Sedangkan prinsip ke-6 (enam) adalah sustainability atau keberlanjutan program.

Sedangkan lima langkah sebagai komponen program adalah pertama Konsepsi, kedua Advokasi, ketiga Edukasi, keempat Supervisi, kelima Monitoring dan evaluasi. Apabila dipakai dalam pemberdayaan UMKM maka dapat diejawantahkan sebagai berikut. Konsepsi pembangunan kesejahteraan sosial adalah pemahaman akan arti pemberdayaan (empowerment) dan peran penting UMKM dalam pembangunan. Semboyan “tiada hari tanpa setiakawan” musti dilaksanakan secara bersama, karena program pembangunan kesejahteraan sosial pada dasarnya perwujudan dari pelaksanan prinsip gotongroyong.

Kedua adalah advokasi, dalam hal ini adalah sosialisasi terhadap upaya penanggulangan kemiskinan. Bahwa pemerintah tidak bisa sendirian karena memiliki keterbatasan finansial, manajerial, dan organisasional. Pemerintah harus menggalang kebersamaan lintas sektor, lintas regional, dan lintas pelaku. Working together to reduce poverty. Ketiga adalah edukasi, yaitu pendidikan kepada para pendamping. Seperti yang pernah kami lakukan sewaktu penyelenggaraan program penanggulangan kemiskinan bantuan langsung pemberdayaan sosial di Kementerian Sosial RI yang mengadakan pelatihan dan pendidikan kepada pendamping yang disebut Manager Sosial Kecamatan, dan/ atau Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan. Pelatihan berupa pendidikan wawasan kebangsaan, ekonomi kerakyatan, dan pengelolaan keuangan.

Keempat adalah supervisi atau pendampingan. Seperti yang telah disebut di atas bahwa pendamping yang ditugaskan untuk membimbing pemanfaat program agar berhasil, sehingga nantinya terlepas dari program pemerintah. Para pendamping yang pernah kita kenal adalah Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), dan sebagainya. Di Kementerian Sosial masih terdapat sejumlah pendamping seperti Tenaga Kerja Sosial Kecamatan, Pekerja Sosial Masyarakat, Manager Sosial Kecamatan atau Maskot, dan Petugas Sosial Kecamatan. Pada tingkat advance para pendamping diharapkan menjadi Konsultan Keuangan Mitra Bank atau KKMB yang menghubungkan UMKM dengan perbankan –ketika mereka terlepas dari pendanaan pemerintah. Kelima, perlunya monitoring dan evaluasi, yaitu pengawasan dan pengendalian terhadap program-program yang telah dijalankan. Sehingga program terus berlanjut (sustainability) menjadi sebuah gerakan pembangunan kesejahteraan sosial masyarakat

Program penanggulangan kemiskinan yang dikategorikan dalam klaster kedua adalah program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 2007, Pemerintah mensinergikan dan mensinkronkan program-program pemberdayaan masyarakat menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. PNPM Mandiri terdiri dari dua yaitu PNPM Inti dan PNPM Penguatan.


  1. Saran Langkah Tindakan

Konsep tentang upaya pencapaian kesejahteraan sosial telah banyak dijalankan, yang diperlukan adalah konsistensi. Atau selengkapnya apabila mengutip pendapat Rosabeth Moss Kanter adalah concern, consistentcy, dan connectivity. Pembangunan kesejahteraan sosial pasti mengarakh kepada pembangunan ekonomi –seperti telah kami sebut di halaman muka. Masyarakat miskin produktif yang tergabung dalam usaha gurem, mikro, dan kecil patut untuk mendapat perhatian lebih. Secara kuantitas, UMKM mengambil porsi terbesar dalam katagorisasi pengusaha kecil. Barangkali perlu difokuskan lagi ke UMK saja –atau usaha mikro dan kecil. Atau bahkan di bawah ”mikro” terdapat juga sektor informal yang bisa disebut dengan usaha ”gurem”. Merekalah sebenarnya pengusaha paling grassroot dari struktur perekonomian bangsa. Sedangkan secara kualitas, pemberdayaan bagi U(G)MK mempunyai multiplier effect yang tinggi, dan berlanjut atau sustain ke masyarakat umum, begitulah digdayanya usaha kecil ini.

Masing-masing pihak perlu concern dalam mengambil peran sesuai dengan tupoksinya dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Pemerintah tetap terus menjalankan program-program sektoral dengan kebersamaan forum lintas pelaku –semenjak berdirinya Komite Penanggulangan Kemiskinan tahun 2001. Masyarakat berpartisipasi dalam koperasi, koperasi simpan pinjam, dan lembaga keuangan mikro (LKM). Perbankan mengoptimalkan lagi penyelesaian Undang-undang LKM, Peraturan Pemerintah tentang LKM, dan Surat Edaran BI mengenai Konsultan Keuangan Mitra Bank atau KKMB. Badan Usaha Milik Negara mempercepat penyaluran PKBL dan CSR dari swasta.

Kebijakan publik berwawasan kebangsaan yang kita ambil contohnya dalam makalah ini adalah PNPM. Intinya adalah pemberdayaan UMKM, kita tentunya mendambakan eksistensi bangun arsitektur LKM Indonesia seperti arsitektur perbankan Indonesia milik BI. Mungkin kita perlu mencontoh grameenbank Bangladesh, misalnya mengoptimalkan PT Permodalan Nasional Madani (PNM) menjadi Apex bank untuk capacity and institution building bagi LKM di tanah air kita tercinta.

Tercapainya kesejahteraan sosial merupakan amanat dari “Memajukan kesejahteran umum” dalam pembukaan UUD 1945. upaya tersebut telah lama dilakukan melalui pembangunan, dan ruh dari pembangunan adalah penanggulangan kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan dewasa ini dilaksanakan melalui program-program pemberdayaan, yang sejak Kabinet Indonesia Bersatu dikoordinasikan dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, atau PNPM. PNPM melalui 3 (tiga) klasternya diarahkan kepada pemberdayaan ekonomi rakyat, dari bantuan murni, ke bantuan bersyarat, dan nantinya bantuan penjaminan. Dari masyarakat yang bergantung bantuan, kemudian pemberdayaan, dan menjadi mandiri. Masyarakat miskin diarahkan kepada bekerja, mendapatkan keuntungan, dan menabung.

Kredonya adalah employment, income, growth, atau “kerja-untung-tabung”. Sehingga ketahanan ekonomi adalah ketahanan yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri, melalui produksi dan konsumsi yang berkesinambungan, dan mandiri. Pemberdayaan ekonomi rakyat merupakan upaya memampukan rakyat untuk dapat memimpin, mengelola, mengatur rumahtangga, kehidupannya sendiri yang sejahtera, aman dan damai.

Pada perspektif pemerintahan, pihak pemerintah harus melengkapinya dengan good corporate governance. Tata kelola pemerintahan yang bersih kurang lebih berarti pemerintah yang melayani rakyatnya, yang bersih, dan komunikatif. Pemerintah yang berupaya hamemayu hayuning bawono. Dunia yang hayu, hamemayu, adalah dunia yang damai. Dunia yang “hayu” jika setiap pribadi, individu mampu mengelola, mengatur dan memimpin kehidupannya, meningkat ke lingkungan desa/ kelurahan, daerah, negara dan dunia. Pemimpin yang hamemayu hayuning bawono adalah mewujudkan kedamaian di dunia yang abadi, baldatun toyibatun warobun gophur.


8. Penutup

Pembangunan –meminjam konsep Francis Fukuyama (1995)- berdasaarkan trust adalah pembangunan berpola pemberdayaan seluruh rakyat, khussunya rakyat kecil. Mereka adalah bagian terbesar dari masyarakat Indonesia yang selama ini telah diabaikan. Memperhatikan mereka berarti memberdayakannya dan menjadikannya sebagai bagian sentral (buka periferal) dalam perekonomian Indonesia. Bukan mobilisasi –akan tetapi partisipasi. Dalam pembangunan berstrategi partisipasi, maka pusat dari strategi tersebut adalah pemberdayaan. Pemberdayaan" berasal dari kata "memberi daya", atau "memberi energi".

Dalam bahasa asing, pemberdayaan disebut seba­gai empowerment. Istilah ini lebih cocok dengan energizing. Sebab, kata "power" cenderung menuju ke hal-hal yang bersifat kekuasaan dalam arti politik. Energizing lebih bersifat positif, karena bersifat menyalurkan sesuatu yang bersifat netral namun diperlukan secara hakiki. Dari sini dapat dipahami pemberdayaan sebagai upaya memberi daya kepada mereka yang kurang atau tidak berdaya agar bisa mendayagunakan dirinya. Pembangunan yang diinginkan adalah pembangunan yang partisipatif, yaitu pembangunan yang bermisi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat. Pemrakarsa, pelaksana, dan pengguna dari pembangunan adalah rakyat.

Satu yang inheren dalam kebijakan publik yang bertujuan menanggulangi kemiskinan adalah spirit untuk maju. Mereka yang dapat memecahkan masalah kemiskinan adalah diri si miskin itu sendiri. Sehingga pendekatan kita selain secara intelektual (yaitu intervensi ekonomi) kita juga bicara secara spiritual dan emosional. Dalam kedua hal tersebut paradigma yang ditawarkan adalah wawasan kebangsaan.

Wawasan Kebangsaan sangat diperlukan oleh suatu bangsa dari suatu negara yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatan seperti negara Indonesia. Wawasan Kebangsaan sebagai spirit akan mengupayakan diri rakyat Indonesia untuk duduk sejajar dengan bangsa lainnya. Dalam kerangka memanfaatkan semua peluang internasional bagi kemajuan bangsa. Memberikan semangat wawasan kebangsaan kepada pelaku ekonomi rakyat berarti memberikan kesadaran bahwa kita harus bersama untuk maju. Pelatihan bersemangat kebangsaan pada awalnya layak untuk diberikan kepada aparat pemerintah, para pendamping program penanggulangan kemiskinan, dan bahkan dunia usaha. Dengan Wawasan Kebangsaan akan menyadarkan warga negara terhadap pentingnya arti kehidupan bersama atas dasar persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum, serta sebagai pembentukan tata pandang yang sehat dan wajar mengenai masa depan bangsa.

Banyak diantara golongan kita yang merasakan kerinduan akan panduan berbangsa dan bernegara setelah ‘dihentikannya’ P4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Beberapa forum yang kami ikuti dan tokoh-tokoh juga menegaskan, bahwa kembali ke Pancasila merupakan kunci kebangkitan bangsa. Dalam carut marut situasi berbangsa dan bernegara dewasa ini sepertinya kita telah kehilangan hikmah dan kebijaksanaan. Kita perlu alternatif program atau pelatihan dalam memandu warganegara agar mencintai bangsa dan berperikehidupan yang santun dengan sesama –dalam kerangka NKRI.

Akhirnya, Wawasan Kebangsaan merupakan pikiran-pikiran yang bersifat nasional dengan tujuan agar bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan bernegara yang jelas di era global. Perjuangan mengurangi kemiskinan takkan kunjung membuahkan hasil bila dilaksanakan secara parsial, bahkan individual. Semangat ke-aku-an, atau ke-kami-an, yang mengutamakan daerah demi daerah, suku demi suku tanpa adanya tekad bersatu sebagai satu bangsa yang secara berbareng bergerak, akan tetap kalah dengan laju kemiskinan itu sendiri. Menjadi Indonesia yang bangkit atau Indonesia Emas, yang dapat mengoptimalkan upaya pencapaian kesejahteraan rakyat, merupakan agenda utama kesejahteraan sosial yang berwawasan kebangsaan. ΕΎ

*) Disampaikan di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) dalam kegiatan Sekolah Staf dan Pimpinan Bank (Sespibank) Angkatan 52 di Jakarta, pada hari Sabtu tanggal 24 April 2010.

Prof. Gunawan Sumodiningrat, M. Ec., Ph. D., adalah Guru Besar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (UGM). Sejak bulan Maret 2009 menjadi Staf Ahli Menteri Bidang Dampak Sosial di Kementerian Sosial RI. Pada tahun 2001 s/d 2005 menjadi Sekretaris Komite Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia. Gelar doktor (Ph. D) didapat dari University of Minnesota, USA, tahun 1982, sedangkan S2 dari Thammasat University, Muangthai (1977), dan S1 dari Ekonomi Pertanian, Fakultas Ekonomi, UGM, Yogyakarta (1974). Mempunyai alamat facebook di gunawansumo@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar